Pasar Tenun Rakyat, Upaya Agar Kain Tenun Lurik Semakin Dilirik

Pasar Tenun Rakyat, Upaya Agar Kain Tenun Lurik Semakin Dilirik

Apa yang terlintas dalam benak teman-teman ketika membaca kata “tenun”? Barangkali kain songket atau ulos menjadi kata pertama yang muncul. Tapi tahukah teman-teman bahwa Yogyakarta juga memiliki tradisi tenun?

Yap, namanya adalah tenun lurik.

Dusun Sejati Desa di Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta merupakan salah satu desa yang masih meneruskan tradisi tenun lurik ini. Secara lebih spesifik, hasil tenun dari desa ini adalah stagen. Stagen merupakan kain kecil dan panjang yang dipakai wanita untuk mengencangkan perut dan membentuk postur tubuh.

Sejak 2013, Dusun Sejati Desa menjadi fokus tempat pemberdayaan Dreamdelion di Yogyakarta. Pengembangan potensi tenun lurik ini dimulai ketika Dreamdelion menyadari adanya kerusakan lingkungan di area sekitar sungai Progo. Dusun Sejati Desa adalah salah satu wilayah dampaknya.

Sebuah konsep rainbow stagen tercetus untuk membuat tenun lurik menjadi lebih dilirik oleh generasi masa kini. Kemudian usulan untuk menggunakan pewarna dengan bahan alam muncul. Pada akhirnya, Dreamdelion berinisiatif untuk menjadikan Desa Sumberarum sebagai sebuah desa wisata, yaitu Rainbow Village. Harapannya tentu saja agar masyarakat mengurangi aktivitas penambangan, pendapatan masyarakat meningkat dari hasil tenun, dan menjaga tradisi yang sudah ada sebelumnya.

Dreamdelion bekerjasama dengan House of Lawe, GEF-SGP (Global Environment Facility- Small Grant Programme), Terasmitra, dan JIKom (Jelajah Indi Komunikasi) ID, mengadakan Pasar Tenun Rakyat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkampanyekan budaya tenun di Indonesia dan menyambut dibukanya desa wisata di Sejati Desa, Sumberarum, Moyudan, Sleman. Dreamdelion juga ingin Sejati Desa dapat berkembang secara mandiri dalam sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan, semakin terbuka lebar. Pasar Tenun Rakyat ini diselenggarakan pada tanggal 23-24 April 2016.

Konsep utama Pasar Tenun Rakyat adalah tinggal di desa wisata sambil belajar kebudayaan. Tidak hanya tenun, tetapi juga kesenian yang lainnya. Meski demikian, sejak Februari, telah diadakan berbagai acara tidak kalah menariknya. Ada dua pameran tentang tenun yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta, juga ada kompetisi photowalk yang diadakan di Dusun Sejati Desa. Rangkaian pre-event berhasil mencuri banyak perhatian publik. Hal ini terbukti pula dengan jumlah peserta yang mendaftar untuk Pasar Tenun Rakyat, yaitu sekitar 50 orang yang sebagian besar berasal dari wilayah Yogyakarta.

Sesuai dengan temanya, “Finding Truly Happiness in Rainbow Village: Learn to Live in Simplicity, Dreamdelion ingin mengajak para peserta untuk merasa bahagia dalam kesederhanaan. Selama dua hari satu malam, peserta belajar budaya sekaligus merasakan suasana pedesaan yang membuat tentram.

Dreamdelion mengajak peserta untuk melihat lebih dekat keindahan alam dan keseharian penduduk Sejati Desa. Peserta juga mendapat kesempatan untuk melihat langsung upacara Baritan, yaitu bentuk syukuran selepas panen padi.

Salah satu bagian yang paling menarik dari acara ini adalah sensasi belajar langsung dari para ahlinya. Tidak hanya tentang tenun, peserta juga diajak untuk belajar kesenian dan keterampilan yang lain. Beberapa workshop yang ditawarkan adalah workshop menenun di hari pertama. Ada pula workshop Tiedye dan Crafting dengan bahan kain tenun di hari kedua. Sementara itu, peserta juga belajar seni gamelan Jawa dan tarian Jawa yang diadakan pada malam hari pertama.

Pasar Tenun Rakyat merupakan cara Dreamdelion untuk berkontribusi menjaga kebudayaan bangsa. Tidak hanya untuk membuat tenun lurik semakin dilirik, tetapi juga menjadikan desa wisata ini sebagai cara untuk melestarikan budaya dan alam sekitar kita.

Ditulis oleh: Nisrina Putri | Foto oleh: Doni Dwitama & Yosua Pelamonia

Sepenggal Cerita Tenun Tangan di Bentara Budaya Jakarta

Sepenggal Cerita Tenun Tangan di Bentara Budaya Jakarta

“Menenun adalah kerja budaya. Mereka sebagai warga Indonesia berhak hidup layak. Dengan mendukung gerakan ini, akan berdampak bagi berbagai pihak, diantaranya mendukung gerakan lokal.”

 

Pernyataan tersebut dituturkan oleh Paulina Dinar Tisti dari Bentara Budaya Jakarta dalam konferensi pers Cerita Tenun Tangan tanggal 15 Maret 2016 di Bentara Budaya Jakarta. Dalam acara tersebut, hadir pula Ibu Catharina Dwihastarini (GEF-SGP), Mama Yovita (Yayasan Thafen Pah), dan Mbak Adinindyah (House of Lawe).

Antusiasme masyarakat yang begitu tinggi terhadap kehadiran pameran Stagen: Start Again, membuat Dreamdelion ingin membagikan semangat yang sama ke tempat baru. Dreamdelion, bersama dengan House of Lawe, GEF-SGP (Global Environment Facility-Small Grant Programme), Terasmitra, JIKom (Jelajah Indi Komunikasi) ID,  Poros, dan Bentara Budaya Jakarta, membawa kisah tenun ini ke Jakarta. Yap, sebenarnya ini adalah pameran yang tidak direncanakan sebelumnya.

Cerita Tenun Tangan ini diadakan di Bentara Budaya Jakarta pada tanggal 15 Maret hingga 20 Maret 2016. Pameran ini mengangkat tema Weaving for Life, yaitu bagaimana tenun memiliki dampak yang sangat besar dalam hidup para penenunnya.

Tidak hanya tenun stagen dari Krapyak dan Moyudan, Yogyakarta, yang disajikan dalam Cerita Tenun Rakyat, ada pula tenun dari daerah Molo, Amanatun, Amanuban yang terkenal dengan sebutan 3 Batu Tungku di Timor Tengah Selatan (TTS), juga ada tenun dari Biboki, Timor Tengah Utara (TTU). Keberadaan tenun di masing-masing wilayah ini memiliki makna yang menarik untuk dipahami. Ada kisah, nilai, dan budaya yang tersimpan dalam tiap helai benangnya. Maka dari itu, pameran kali ini diberi nama Cerita Tenun Tangan.

Lain daerah, lain pula cerita di balik lembaran warna-warni kain tenunnya. Di Mollo, Amanatun, dan Amanuban, hasil tenun dapat menjadi sumber penghasilan dan merupakan cara untuk mengusir tambang marmer. Ada pula kisah dari Moyudan, Yogyakarta, yang menjadikan tenun sebagai upaya untuk mengurangi kegiatan penambangan pasir di sungai Progo. Kegiatan penambangan pasir ini secara nyata telah merusak ekosistem alam di desa. Sementara itu, hasil penjualan tenun di Biboki telah digunakan untuk misi regenerasi dan beasiswa anak-anak Biboki. Sungguh menarik, bukan, menyimak cerita tenun dari masing-masing daerah?

Pameran ini tidak hanya menyajikan hasil jadi tenun tangan, tetapi juga menghadirkan beberapa alat tenun yang dapat dicoba langsung oleh para pengunjung. Para penenun asli dari Yogyakarta dan Timor Tengah Utara datang juga untuk mengajari para pengunjung cara menggunakan alat tenunnya. Hasil jadi tenun tangan ini juga dipamerkan sekaligus dijual, seperti tas, dompet, baju hingga boneka. Keuntungan penjualan ini kembali ke para penenun dan pengrajin pembuat produk di Terasmitra dan GEF-SGP, lho. Selain itu, ada pula kelas kerajinan tangan yang diadakan tiap hari. Kelas kerajinan tangan ini mengajak pengunjung untuk membuat bros, jepit rambut, dan pouch cantik dari kain tenun.

Ada pula Talkshow “Eksistensi Tenun Dulu dan Sekarang” yang diadakan pada hari kedua pameran, 16 Maret 2016. Tidak tanggung-tanggung, narasumber talkshow ini adalah Didiet Maulana, desainer terkenal dari The Ikat Indonesia, Yovita Meta Basin dari Yayasan Taefan Pah, dan Adinindyah dari House of Lawe. Perbincangan ini membahas tentang minat generasi muda terhadap kerajinan tenun dan permasalahan terkait pemasaran hasil jadi tenun itu sendiri. Masih di hari yang sama, digelar pula Fashion Show dengan tema “Aplikasi Kain Tenun dalam Berbusana”.

Pertunjukan seni dan musik membuat Cerita Tenun Tangan semakin berwarna. Ada Daniel dari sanggar Sakti Dance Company dan pertunjukan musik Sasando oleh Djitron Pah yang membuka hari pertama pameran. Teater “Main Dulu, Main Sekarang” dari Sanggar Bias hadir pula mengisi di hari ketiga. Selain itu masih ada pertunjukan musik Jimbe dari Yayasan Ciliwung Merdeka.

Kemeriahan Cerita Tenun Rakyat ini juga ditambah dengan kontes foto Cerita Tenun Tangan yang diadakan setiap hari. Caranya sederhana, cukup unggah foto tentang acara Weaving For Life, lalu tag 3 orang teman di Instagram.

Seru sekali, bukan?

Jauh di luar dugaan, Cerita Tenun Tangan di Bentara Budaya Jakarta ini disambut hangat oleh lebih banyak orang dan lebih banyak media. Bahkan di hari terakhir, sudah ada lebih dari 500 pengunjung dalam pameran Weaving for Life! Tidak hanya itu, Dewi Motik, Frans Hartono, dan Nina Tamam turut hadir mengisi rangkaian kegiatan dalam pameran ini. Rasanya segala usaha dan kerja keras tuntas terbayarkan oleh tanggapan positif yang diberikan masyarakat.

Written by : Nisrina Putri | Photo by : Evaulia Nindya

Stagen: Start Again to Preserve the Beautiful and Unique Indonesian Culture

Stagen: Start Again to Preserve the Beautiful and Unique Indonesian Culture

Sesederhana nama yang diberikan “Stagen: Start Again, Dreamdelion ingin memulai kembali tradisi tenun yang terancam hilang. Dreamdelion ingin eksistensi tenun, terutama tenun stagen di Yogyakarta, bisa kembali naik dan mendunia. Untuk itulah Dreamdelion membuat pameran ini. Masih satu rangkaian dengan Pasar Tenun Rakyat, pameran “Stagen: Start Again” hadir sebagai upaya untuk membuat tenun lebih dikenal oleh kalangan luas.

Pameran Stagen: Start Again ini dilaksanakan pada awal tahun 2016, yaitu 13-17 Februari 2016. Acara ini merupakan sebuah kolaborasi antara Dreamdelion Yogyakarta dengan Jelajah Indi Komunikasi (JIKom), House of Lawe, serta dukungan penuh dari Global Environmental Facility-Small Grants Programme (GEF-SGP).  Keberadaan pameran ini juga merupakan salah satu penyambutan dari dibukanya desa wisata pewarna alam (Rainbow Village) di Sejati Desa, Sumberarum, Moyudan, Sleman.

“Menenun itu tidak susah hanya butuh telaten saat nyekir, proses awal menggulung benang.”

– Mbak Jimah.

Dreamdelion berusaha untuk mendekatkan para pengunjung dengan tenun, untuk kemudian membuat semakin banyak orang yang jatuh cinta dengannya. Pameran ini mengeksplorasi tenun, mulai dari perkembangan alat tenun yang digunakan, proses pewarnaannya, hingga aneka ragam hasil jadi olahannya. Ada stagen polos untuk ikat perut setelah melahirkan, stagen warna, dan kreasi kain lurik dalam bentuk tas, jam tangan, dan sepatu.

Tidak hanya pameran, Dreamdelion juga mengundang Mbak Jimah (45) dan Mbak Sumirah (34), para penenun rainbow stagen dari Desa Sumberarum. Pengunjung dapat belajar menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) kepada para penenun ini. Dalam pameran ini, beberapa gambar penenun dari luar Yogyakarta dipajang. Ada dari suku Molo, Amantun dan Amanuban, Timur Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.

Agar acara ini semakin menarik, Dreamdelion juga mengadakan kompetisi foto di Instagram. Para pengunjung pameran ini ditantang untuk mengunggah foto-foto mereka selama pameran. Tiap harinya, dipilih satu orang pemenang yang mendapatkan bingkisan menarik dari panitia.

Para media yang hadir juga banyak untuk meliput dan mempromosikan kegiatan ini. Dinas Kebudayaan dan Pariwisara Kabupaten Sleman turut menyambut baik keberadaan pameran ini.

Semoga saja setelah kegiatan ini, akan ada lebih banyak orang yang terinspirasi untuk mencintai dan menjaga kebudayaan Indonesia. Tidak ada lagi orang-orang yang dengan mudahnya menawar harga rendah untuk sebuah kain tenun. Sebab sejak awal, tenun tidak semudah itu dibuat. Ini langkah awal Dreamdelion untuk memulai kembali menghidupkan tenun.

Written by: Nisrina Putri